Beranda | Artikel
Dzikir saat Bangkit dari Rukuk
17 jam lalu

Dzikir saat Bangkit dari Rukuk ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Fiqih Doa dan Dzikir yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 26 Jumadil Awal 1447 H / 17 November 2025 M.

Kajian Tentang Dzikir saat Bangkit dari Rukuk

Bacaan ini sudah sering kita dengar dan hafal. Dalil yang menjadi landasan untuk membaca dzikir ini diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi, yaitu Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu. Beliau menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika bangkit dari rukuk, beliau akan mengangkat kedua tangannya setinggi bahu (pundak). Telapak tangan beliau menghadap ke depan, bukan ke samping.

Dalam riwayat yang shahih lainnya, dijelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah mengangkat kedua tangannya setinggi telinga. Dengan demikian, terdapat dua cara yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat mengangkat tangan dalam shalat, yaitu: setinggi bahu atau setinggi telinga.

Kedua versi ini adalah benar karena keduanya pernah dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini menunjukkan bahwa umat Islam dapat mengamalkan salah satu dari dua cara tersebut, atau mengamalkannya secara bergantian, kadang setinggi bahu dan di waktu yang lain setinggi telinga.

Saat bangkit dari rukuk, sambil mengangkat kedua tangannya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengucapkan:

سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

“Allah mendengar pujian dari orang yang memuji-Nya.” (HR. Bukhari)

Makna “Sami’allahu Liman Hamidah”

Dalam bahasa Arab, kata سَمِعَ (sami’a) berarti “mendengar”. Dengan mengucapkan kalimat سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ, berarti kita sedang mengatakan bahwa Allah mendengar pujian dari orang yang memuji-Nya.

Pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dilakukan dengan menyebutkan nama-nama-Nya yang mulia (Asmaul Husna) atau dengan mengucapkan dzikir seperti, “Subhanallah (Maha Suci Allah), Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah), Laa ilaaha illallah (Tidak ada tuhan selain Allah), dan Allahu Akbar (Allah Maha Besar).” Ketika kita memuji Allah, Dia akan mendengarnya.

Meskipun makna harfiah kalimat tersebut secara spesifik menyebut “orang yang memuji-Nya,” perlu dipahami bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat الْسَّمِيعُ (As-Sami’) yang berarti Yang Maha Mendengar.

Sifat As-Sami’ menunjukkan bahwa pendengaran Allah itu sempurna dan meliputi segala sesuatu. Segala jenis suara, baik yang lirih maupun yang keras, didengar oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan, ucapan atau bisikan buruk, kasar, dan jorok pun didengar oleh-Nya, meskipun ucapan itu bukan merupakan pujian kepada-Nya. Allah mendengar segala perkataan yang diucapkan oleh manusia.

Saat seseorang berbicara dengan suara yang sangat keras, pendengar sering kali bingung atau tidak memahami apa yang diucapkan. Hal ini membuktikan bahwa pendengaran manusia itu terbatas. Manusia tidak dapat mendengar suara yang terlalu lirih, juga suara yang terlalu keras hingga melampaui batas toleransi telinga, apalagi mendengar ucapan dari jarak yang sangat jauh tanpa alat bantu. Pendengaran manusia hanya mampu menangkap suara dalam frekuensi dan intensitas normal.

Berbeda dengan manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat Al-Sami’ (Yang Maha Mendengar) yang pendengaran-Nya sempurna dan tidak terbatas, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Penafsiran dzikir saat I’tidal, سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ (Sami’allahu liman hamidah), tidak hanya diartikan secara harfiah sebagai “Allah mendengar pujian dari orang yang memuji-Nya.”

Para ulama menganalisis dan mempelajari susunan kalimat ini. Dzikir ini menggunakan huruf لِـ (li) yang dalam bahasa Arab disebut huruf lam (ل). Kehadiran huruf tambahan, menurut kaidah dalam bahasa Arab, akan menambah atau memperkaya makna suatu kalimat.

Menurut para ulama, makna سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ (Sami’allahu liman hamidah) diperluas menjadi: “Allah akan mendengar dan mengabulkan (doa) orang yang memuji-Nya.”

Ini berarti bahwa Allah akan mendengarkan dan mengabulkan permohonan atau doa dari hamba-Nya yang mengawali doa dengan pujian. Oleh karena itu, jika kita ingin doa-doa dikabulkan, kita harus mengawalinya dengan memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adab dan Akhlak kepada Allah

Mengawali doa dengan pujian merupakan bagian dari adab dan akhlak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang muslim dituntut untuk berakhlak baik kepada manusia dan juga kepada Allah. Tidaklah pantas jika seseorang beradab dan berakhlak baik kepada sesama manusia, tetapi tidak menunjukkan adab yang baik kepada Allah.

Kebaikan yang diberikan oleh sesama tetangga mungkin berupa bantuan saat membutuhkan, meminjamkan alat, atau berbagi makanan. Kebaikan ini tentu sangat berharga. Namun, kebaikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya jauh lebih besar, tak terhingga, dan tak tertandingi.

Allah memberikan kita nyawa, kesehatan, rezeki, dan segala nikmat yang ada. Nikmat yang diberikan Allah seperti nyawa tidak dapat dibandingkan dengan kebaikan manusia, seperti sayur atau bantuan yang bersifat materi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl [16]: 18)

Allah-lah yang memerintahkan kita untuk shalat, membaca Al-Qur’an, dan menjalankan ibadah lainnya. Ketaatan kepada perintah-Nya adalah bentuk adab dan penghormatan tertinggi kepada Sang Pencipta.

Dengan demikian, dalam bacaan shalat, kita diajari untuk memulai doa (seperti bacaan setelah Sami’allahu liman hamidah) dengan pujian.

Imam an-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala menyatakan bahwa para ulama telah berijmak (sepakat) bahwa doa disunnahkan untuk diawali dengan pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pentingnya Pujian dan Shalawat dalam Berdoa

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mendengar seorang sahabat berdoa tanpa mengawali doanya dengan pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tanpa membaca shalawat. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam segera menegur, menyatakan bahwa orang tersebut berdoa dengan tergesa-gesa.

Kemudian, orang yang berdoa tergesa-gesa itu dipanggil oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan dinasihati:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ، فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ اللَّهِ، وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ، ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ يَدْعُو بَعْدُ بِمَا شَاءَ

“Jika salah seorang di antara kalian salat (dan hendak berdoa), maka hendaklah ia memulai dengan memuji Allah, dan menyanjung-Nya, kemudian bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, setelah itu barulah ia berdoa dengan apa yang ia kehendaki.” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya).

Nasihat ini menegaskan bahwa adab dalam berdoa adalah mengawalinya dengan pujian dan shalawat. Memuji Allah minimal dilakukan sebanyak tujuh belas kali sehari saat membaca Surah Al-Fatihah, yaitu: “Alhamdulillahirabbil alamin, Ar-Rahmanir Rahim, Maliki yaumiddin” yang merupakan rangkaian pujian kepada Allah.

Adapun shalawat yang paling ringkas adalah اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ (Allahumma shalli ‘ala Muhammad).

Adab dan akhlak sangat penting, bahkan saat berbicara dengan sesama manusia. Jika kita ingin meminta sesuatu kepada orang lain, kita menggunakan adab yang baik dan tidak tergesa-gesa menyampaikan maksud. Apalagi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, adab harus lebih diutamakan. Tidak sepantasnya seorang hamba langsung menyampaikan permintaan tanpa mengawali dengan pujian kepada-Nya.

Banyak doa yang diawali dengan Asmaul Husna sebagai bentuk pujian. Misalnya, doa yang dibaca setiap pagi dan petang, yang diawali dengan: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ (Allahumma inni a’udzubika) yang berarti “Ya Allah, hamba memohon pertolongan kepada-Mu.” Penggunaan nama dan sifat Allah di awal doa adalah adab, kecuali dalam kondisi darurat, seperti saat tertimpa musibah, sehingga dibolehkan langsung memohon pertolongan.

Dzikir I’tidal bagi Imam, Makmum, dan Shalat Sendirian

Kondisi orang yang shalat ada tiga, yaitu: sebagai imam, sebagai makmum, atau shalat sendirian (munfarid).

Orang yang Shalat Sendirian (Munfarid): Para ulama sepakat bahwa orang yang shalat sendirian, seperti saat shalat sunnah (qabliyah, ba’diyah, dhuha, atau tahajud), disyariatkan membaca سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ (Sami’allahu liman hamidah) ketika bangkit dari rukuk (I’tidal).

Imam: Menurut empat mazhab utama—Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali—disyariatkan bagi imam untuk membaca سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ (Sami’allahu liman hamidah).

Makmum: Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai bacaan dzikir saat I’tidal bagi makmum:

Mayoritas Ulama (termasuk Mazhab Hanafi dan Maliki) makmum dianggap cukup membaca رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ (Rabbana walakal hamd) saja, dan tidak perlu membaca سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ (Sami’allahu liman hamidah).

Sebagian Ulama (termasuk Mazhab Syafi’i dan Mazhab Zhahiri) makmum tetap disyariatkan membaca سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ (Sami’allahu liman hamidah), kemudian dilanjutkan dengan membaca رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ (Rabbana walakal hamd).

Karena argumen (dalil) dari masing-masing pendapat ini sama-sama kuat dan kokoh, umat Islam dapat memilih salah satu dari pendapat tersebut. Makmum boleh memilih untuk hanya membaca رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ atau membaca kedua dzikir tersebut secara berurutan.

Download mp3 Kajian

Mari turut membagikan link download kajianDzikir saat Bangkit dari Rukuk” ini ke jejaring sosial Facebook, Twitter atau yang lainnya. Semoga menjadi pembuka pintu kebaikan bagi kita semua. Jazakumullahu Khairan.

Telegram: t.me/rodjaofficial
Facebook: facebook.com/radiorodja
Twitter: twitter.com/radiorodja
Instagram: instagram.com/radiorodja
Website: www.radiorodja.com

Dapatkan informasi dari Rodja TV, melalui :

Facebook: facebook.com/rodjatvofficial
Twitter: twitter.com/rodjatv
Instagram: instagram.com/rodjatv
Website: www.rodja.tv


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55799-dzikir-saat-bangkit-dari-rukuk/